- 20 Mei 2023 21:12 WIB
- Dibaca: 346x
JURNALDAIRI.com - Disusun Oleh : Benjamin Nainggolan
Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih anggota DPRD yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pemilihan umum di Indonesia sebagai salah satu upaya mewujudkan negara yang demokrasi. Secara teoritis pemilihan umum di anggap merupakan tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang demokratis, sehingga pemilu merupakan motor penggerak mekanisme sistem politik demokrasi, karena tanpa ada pemilu suatu negara tidak bisa disebut sebagai Negara Demokrasi dalam arti yang sebenarnya.
Hal ini berarti, dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik termasuk dalam pemilu.
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam penyelenggaraan pesta demokrasi seperti halnya pemilihan umum.
Oleh karenanya masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan Pemilu, karena merupakan satu kesatuan yang utuh dimana masyarakat menjadi faktor utama dan penentu suksesnya sebuah pelaksanaan pemilu. Pelaksanaan pemilu berpengaruh terhadap proses perkembangan sebuah kebijakan pemerintah yang mengatur masyarakat banyak.
Oleh karena itu sudah waktunya kita memberikan sebuah pembelajaran berharga kepada masyarakat mengenai makna dan arti dari sebuah pemilu itu sendiri, sehingga masyarakat tidak terperosok kedalam sebuah kesalahan pada saat memilih kandidat pemilu.
Pembelajaran dan sosialisasi pemilu merupakan suatu hal yang berpengaruh dan wajib dilakukan, agar masyarakat benar-benar mengetahui tentang pemilu. Selain memberikan petunjuk teknis, masyarakat Indonesia masih perlu diberikan pengertian tentang bagaimana memberikan hak suaranya dengan benar dan bukan karena dipengaruhi hal lain yang tidak menguntungkan masyarakat itu sendiri.
Pada dasarnya tujuan tersebut adalah memberikan petunjuk yang benar terkait Pemilu bukan justru mencari keuntungan semata yang dapat merugikan masyarakat sehingga masyarakat hanya dijadikan boneka permainan politik oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian jabatan Kepala Daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokrasi”.
Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Sedangkan Pilkada pada dasarnya sama dengan pilpres. Keduanya diselenggarakan untuk memilih pemimpin secara langsung. Pilkada dilakukan untuk memilih kepala daerah. Kepala daerah tersebut antara lain Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Pilkada dilakukan pada lingkup tertentu.
Pemilu dan Pilkada di indonesia dilaksanakan 5 tahun sekali, jadi untuk menambah wawasan peserta didik proses pemilu dan pilkada diajarkan sejak mereka duduk dibangku sekolah dasar walaupun mereka belum bisa memilih setidaknya mereka sudah mengetahui dan memahami apa itu pemilu dan pilkada dan nanti setelah mereka sudah berusia 17 tahun mereka sudah memiliki dasar pengetahuan sehingga mereka tinggal mempraktekkannya.
Adapun syarat-syarat agar bisa mengikuti pemilu dan pilkada ialah warga negara indonesia, telah berusia 17 tahun ataupun sudah pernah menikah, sehat jasmani dan rohani, dan tidak sedang terkasus pidana. Dalam penyelengaraan pemilu ada beberapa tahapan yaitu: pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta pemilu,penetapan peserta pemilu, kampanye peserta pemilu serta pemungutan dan penghitungan suara.
Untuk lebih jelasnya disini pemakalah akan membahas, pengertian Pemilu dan Pilkada, sejarah Pemilu dan Pilkada di indonesia, asas-asas Pemilu dan Pilkada, dan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada sekarang merupakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) keempat yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 16 Tahun 1999 yang berjumlah 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres Nomor 10 Tahun 2001 yang berjumlah 11 (sebelas) orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 101/P/2007 yang berjumlah 7 (tujuh) orang anggota yang berasal dari anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsul bahri yang batal dilantik Presiden karena masalah hukum (KPU, 2013).
Terkait pelaksanaan tugas KPU, terdapat hal pokok dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 yang berpotensi memberi pengaruh terhadap kualitas pelaksanaan tugas demokrasi tersebut secara substansial. Substansi demokrasi dimaksud diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan komisi pemilihan umum (KPU) sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu.
Sifat mandiri menegaskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. Perubahan penting dalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 Tentang Penyelenggara Pemilu, juga meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggaran Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.
Regulasi tersebut diatur mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilihan umum.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Diatur pula komposisi keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai substansi demokrasi sehingga harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan komisi pemilihan umum (KPU) 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.
Penyelenggaran Pemilu berpedoman kepada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen keempat, penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh komisi pemilihan umum (KPU) dalam upaya realisasi atas Negara hukum yang berkedaulatan rakyat. Namun dalam bidang penyelenggaraan pemilu tidak serta-merta mampu mewujudkan Indonesia menjadi sebuah Negara yang demokratis, justru Indonesia menjadi Negara yang dilematis.
Setidaknya ketentuan mengenai penyelenggara pemilu perlu dilakukan suatu pelembagaan secara intensif terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu dalam upaya pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Menurut Isra (2010), suatu komisi Negara dikatakan profesional dan independen harus memenuhi tiga aspek yaitu, berkaitan dengan posisi kelembagaan, pola dan sistem rekrutmen anggota dan pimpinan lembaga Negara, serta anggaran lembaga Negara yang bersangkutan sehingga kualitas, profesionalitas dan independensi komisi Negara, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memenuhi kriteria di atas.
Kriteria yang menjadi pertimbangan penting adalah pola rekrutmen keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah membentuk panitia seleksi. Sejatinya keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sering menuai banyak kontroversi berkaitan dengan mekanisme dan tata administrasi kenegaraan Indonesia. Kendati selalu menuai kontroversi dari periode ke periode, minat masyarakat untuk menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) luar biasa tinggi. Jumlah pendaftar bisa mencapai ratusan bahkan ribuan calon. Posisinya yang strategis teramat menentukan keanggotaan legislatif dan eksekutif. Bukan rahasia lagi jika banyak anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melakukan bargaining position dengan calon anggota legislative dan eksekutif (Pilkada).
Tidak heran banyak yang kemudian tersandung masalah hukum. Diberhentikan dengan cara masal ataupun perorangan. Cara pemberhentiannya pun tidak rumit.
Dengan berpegang pada aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemilihan umum, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di atasnya bisa membubarkan keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di bawahnya.
Lantas menggantinya dengan anggota baru yang diambil dari urutan enam sampai urutan 10 dari yang disodorkan tim seleksi. Kasus demi kasus menimpa Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga keanggotaannya rentan dicopot.
Contoh kasus adalah ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Utara mencopot semua anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Manado pada 2010 dan menggantinya dengan lima orang urutan di bawahnya.
Kasus di Manado bukan yang pertama. Masih banyak kasus serupa di provinsi dan kabupaten/kota lainnya.
Kekuasaan besar anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di atasnya yang dimandatkan dalam undang-undang dan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), membuat posisi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di bawahnya tidak bisa dibilang nyaman.
Akan tetapi tidak semata-mata pencopotan itu, karena pelanggaran terhadap undang-undang. Lebih karena tekanan politik penguasa setempat. Kecuali yang tersandung langsung dengan masalah hukum, juga moral. Pelanggaran kode etik dan integritas terlalu lemah untuk dijadikan pijakan kuat pencopotan.
Contoh terbaru adalah pencopotan 18 anggota komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Seram Bagian Timur Provinsi Maluku, lima anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Nagekeo Nusa Tengara Timur, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan dan tiga anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur (sumber: berita Radar Manado edisi Sabtu 3 Agustus 2013).
Mereka diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP). Lembaga ini tergolong baru yang fungsinya menjaga kehormatan institusi penyelenggara pemilihan umum. Alasannya adalah menyelamatkan citra bukan untuk menghukum.
Dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) tidak bisa memberhentikan anggota komisi pemilihan umum (KPU) yang tersandung masalah hukum. Lembaga ini semata-mata hanya berhak memvonis dan memberhentikan anggota komisi pemilihan umum (KPU) yang melanggar kode etik.
Dewan kehormatan penyelenggara Pemilu (DKPP) dibentuk dengan alasan menjaga kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilihan umum yang sudah semakin akut. Bahkan bisa dikatakan sudah pada titik nadir. Tingkat kepercayaan publik inilah yang menjadi problem keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga memasuki empat periode ini.
Itulah sebabnya muncul lembaga baru yang dinamakan dewan kehormatan penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berhak memvonis anggota yang melanggar etika,
khususnya masalah hukum, dalam aturan masih menjadi hak KPU di atasnya. Akan tetapi, tidak bisa serta merta memberhentikan karena harus melalui proses persidangan.
Baru setelah ada keputusan hukum tetap kemudian diambil tindakan. Jika pengadilan menyatakan bersalah, langsung diberhentikan. Jika tidak terbukti bersalah, aturan memerintahkan untuk merehabilitasi keanggotaan yang bersangkutan. Sebagai institusi penyelanggara pesta demokrasi di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat dominan menjalankan fungsinya.
Ditangan mereka bisa lahir anggota legislatif yang qualified atau abal-abal. Juga bisa melahirkan pemimpin daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) yang murni pilihan rakyat, atau malah sebaliknya, Gubernur, Bupati atau Walikota yang terpilih karena kekuatan finansial semata.
Di sinilah moralitas keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu diuji. Integritas dan kualitas juga ditempa. Keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terdiri dari berbagai unsur mestinya menjadi jawaban atas kualitas dan integritas sekaligus mampu menjaga etika dan moralitas. Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah semudah yang diinginkan tersebut.
Kelemahan dalam sistem rekrutmen, mulai dari tingkatan tim seleksi hingga penentuan keanggotaan tetap di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di atasnya, juga menjadi kunci akan kualitas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bisa jadi dari sisi kualitas, baik penguasaan aturan maupun penyelenggaraan administrasi tergolong di atas rata-rata.
Akan tetapi, di sisi lain terbentur pada masalah moralitas dan etika. Ketidak sempurnakan itulah yang selalu menjadi buah bibir dan tidak jarang berujung pada proses hukum. Hal ini yang memicu hingga tingkat kepercayaan publik sudah sampai pada titik terendah. Hanya sejauh ini, pemerintah masih meyakini, bahwa proses pendewasaan institusi penyelenggara pemilu tidak serta merta terjadi dalam sekejap.
Itu butuh proses dan bertahap. Sampai tiga periode berlalu, Belum diketahui sudah sejauh mana persentase kepercayaan publik terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Harapan besar adalah pada periode keempat yang sebagian besar sudah mulai bekerja setelah melalui seleksi pada awal tahun dan rata-rata dilantik paruh tahun ini.
Keberhasilan implementasi kebijakan banyak hal yang menjadi faktor determinan dalam mencapai tujuannya. Namun demikian peranan actor/implementor menjadi masalah mendasar dalam mewujudkan tujuan secara efektif dan efisien.
Beberapa contoh kasus pelaksanaan pemilu antara lain masih tertutupnya system seleksi penjaringan atau rekruitmen calon komisioner. Pada KPU Kota Kotamobagu, dalam pelaksanaan proses tahapan rekruitmen tim seleksi, terdapat penunjukkan keanggotaan tim seleksi yang mengantar 10 orang untuk dipilih lima orang terbaik oleh komisi pemilihan umum (KPU) di atasnya. Sumber persoalan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mulai dilihat dari kualitas tim seleksi, tidak bisa langsung pada seleksi lima komisioner yang ditetapkan komisi pemilihan umum (KPU) di atasnya.
Begitu seterusnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat yang dipilih tim seleksi juga punya problem serupa. Makin rumit jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat yang membentuk tim seleksi untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi lantas memilih lima komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi tidak berlandaskan azas penyelenggaraan pemilihan umum yaitu mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Muatan kepentingan politik sangat dominan. Partai-partai politik berlomba-lomba menguasai person-person di Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk meloloskan orang-orangnya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penyakit akut yang masih sulit dihilangkan, apalagi banyak bukti yang terbentang, komisioner tidak sedikit yang terpilih karena kekuatan finansial.
Tidak untuk menggeneralisir, karena beberapa diantaranya juga masih terpilih murni dengan memenuhi kriteria-kriteria baku berdasarkan undang-undang. Tetapi tidak lantas memberi jaminan kelak kinerjanya akan mengikuti segala ketentuan yang berlaku. Tidak sedikit anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebelum terpilih masih biasa-biasa saja. Begitu duduk lantas mengekslusifkan diri, menjaga jarak dengan masyarakat dan cenderung arogan dalam bertindak.
Muncul aneka problem yang lantas mengganjal pemulihan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Tidak jarang sikap persoalan komisioner dipicu oleh sifat dan keinginan untuk bargaining dengan calon anggota legislatif dan calon eksekutif. Termasuk tekanan dan pengaruh besar dari penguasa setempat dalam tubuh lembaga.
Berdasar pada masalah faktual yang penulis gambarkan di atas dapat dikatakan bahwa kualitas KPU terlihat pada profesionalitas, akuntabilitas serta efektivitas dan efisiensi dari anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangatlah penting sehingga dapat dikaitkan dengan konsep-konsep dan definisi dari para ahli yang tentunya dapat dijadikan acuan.
Hal ini sangat penting, diteliti mengingat fungsi dan peran anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat penting dan menentukan kualitas pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota cenderung masih diragukan dan dikritik profesionalitas, integritas dan akuntabilitasnya oleh publik.
Masih adanya intervensi oleh kepentingan politik dan politik uang, atau sering diistilahkan "politik dagang sapi", anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terpilih sangat bernilai strategis baik secara individu dan lembaga yang merekomendasikan/maupun bagi pembelajaran berdemokrasi di tengah euforia berdemokrasi yang dinilai melenceng dari prinsip-prinsip demokrasi (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).
Perannya yang teramat dominan bisa melahirkan dan menghasilkan output yang baik seperti dalam teori black box. Seorang anggota komisi yang handal sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum Bab II pasal 2 asas penyelenggaraan Pemilu yang berpedoman pada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan profesionalitas, akuntabilitas, efektif dan efisien.
Juga sebaliknya bisa menjatuhkan pilihan pada anggota komisi yang tidak memiliki kemampuan seperti harapan publik. Lahirnya UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang tentunya berkaitan dengan profesionalitas serta kualitas pemerintah daerah yang akan terpilih nantinya agar supaya mewujudkan suatu tata kepemerintahan yang baik(clean government and good governance).
Juga berangkat dari latar belakang anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang masih diragukan kualitas,dan kapabilitasnya, maka peneliti melakukan pra-research sehingga disajikan data empirik (empirical problem) mengenai masalah yang timbul.
Hal inilah yang kemudian mendorong saya untuk menulis dan untuk sekedar mengingatkan kita semua bahwa betapa pentingnya proses seleksi calon anggota KPU, karena hasil seleksi inilah yang akan menentukan proses demokrasi lima tahun mendatang, sekaligus akan menjadi pondasi bagi penyelenggara pemilu.
Baik buruknya demokrasi lima tahun mendatang ada di tangan timsel. Sebab hasil keputusan merekalah yang akan melahirkan 10 calon anggota KPU mendatang, yang 5 diantaranya akan dilantik menjadi komisioner. Belum lagi segala upaya yang dilakukan oleh para calon anggota KPU termasuk ‘merayu’ timsel dengan berbagai cara agar nama mereka bisa diloloskan tahapan-tahapan berikutnya, serta bahaya intervensi para petinggi di daerah yang menginginkan agar calon anggota KPU yang lolos di berbagai tahapan adalah hasil rekomendasi mereka.
Tujuannya supaya bisa mengamankan kepentingan mereka di kemudian nanti. Demikian itulah tahapan yang sangat berbahaya dan rawan karena menurut saya hanya sedikit timsel yang bisa mengelak dari intervensi para petinggi. Dari uraian singkat diatas tentu kita bisa menarik kesimpulan bahwa tim seleksi sangat berperan penting dalam membangun pondasi demokrasi, karena dari hasil keputusan merekalah akan lahir para komisioner yang akan memikul tugas dan tanggung jawab yang sangat berat yakni melaksanakan pemilihan umum yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali untuk memilih sejumlah pejabat Negara meliputi, Presiden dan Wakil presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD, kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan walikota).
Karena ini pula persyaratan untuk menjadi timsel tidaklah mudah.Hal ini sudah diatur dalam peraturan KPU No 02/2013 tentang seleksi calon anggota KPU. Dalam peraturan KPU ini pasal 9 menyebutkan setiap calon Tim seleksi, calon anggota KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut berpendidikan paling rendah S-1, berusia paling rendah 30 tahun dilarang mencalonkan diri sebagai calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota seluruh wilayah Indonesia, memiliki reputasi, kredibilitas, integritas dan rekam jejak yang baik, memahami permasalahan pemilu, tidak menjadi anggota partai politik sekurang-kurangnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung pada saat terdaftar sebagai calon anggota tim seleksi, tidak sedang menjabat sebagai anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, yang mendorong munculnya bentuk tata kelola yang mampu beradaptasi terhadap konteksnya.
Dalam implementasi kebijakan Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang penyelenggara pemilu masih mengalami berbagai hambatan dalam menerapkannya. Berbagai aturan dasar, asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu belum sesuai dengan kenyataan. Dimensi Akuntabilitas dan Profesionalitas KPU seringkali menjadi diskursus dan perhatian publik.
Tugas pokok dan fungsi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi isu pembicaraan publik ketika pemilu dilaksanakan, mulai pada tahapan awal proses seleksi komisioner hingga pada tahapan akhir pelaksanaan pemilu. Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, maka yang diteliti dalam penelitian ini adalah profesionalitas dan akuntabilitas Komisi Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan pemilihan umum sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang penyelenggara pemilihan umum yang berpedoman pada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum menginterpretasikan hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, efektif dan efisien.
Pemilu adalah suatu proses untuk memilih orang-orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pemilihan umum diadakan sebagai perwujudan negara yang menganut sistem demokrasi dan juga penerapan nyata proses pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Salah satunya ialah menggunakan hak pilih sebagai masyarakat dalam pemilihan umum.
Menurut Sarbaini (2015:107) menyatakan bahwa Pemilu merupakan arena pertarungan untuk mengisi jabatan politik di pemerintahan yang dilakukan menggunakan cara pemilihan yang dilakukan oleh warga negara bersyarat.
Secara umum Pemilu merupakan cara yang dilakukan oleh rakyat untuk menentukan pemimpin atau wakil mereka di pemerintahan serta dapat dikatakan sebagai hak masyarakat sebagai warga negara untuk memilih wakilnya di pemerintahan.
Selain dari definisi di atas Morrisan (2005:17), mengemukakan bahwa pemilihan umum adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan rakyat mengenai arah dan kebijakan negara.
Bisa juga dikatakan bahwa pelaksanaan pemilu adalah implementasi dari sistem pelaksanaan demokrasi secara sesungguhnya.
Walaupun setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk memilih, namun Undang-Undang Pemilu mengadakan pembatasan umur untuk dapat ikut serta di dalam pemilihan umum. Batas waktu untuk mendapatkan batas umum ialah waktu pendaftaran pemilih untuk pemilihan umum, yaitu sudah genap berumur 17 tahun.
Adapun kesetaraan batas umur 17 tahun yaitu berdasarkan perkembangan kehidupan politik di Indonesia, bahwa warga negara Republik Indonesia yang telah mencapai umur 17 tahun, ternyata sudah mempunyai pertanggung jawaban politik terhadap negara dan masyarakat sehingga sewajarnya diberikan untuk memilih wakil-wakilnya dalam pemilihan anggota-anggota badan-badan perwakilan rakyat.
Dalam pemilu juga terdapat asas-asas yang digunakan sebagai acuan pelaksanaan pemilu.
Asas-asas tersebut perlu dijunjung tinggi dalam pelaksanaan karena asas terebut juga digunakan untuk sebagai tujuan pemilu. Adapun asas-asas tersebut sebagai berikut :
a. Langsung Langsung, berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih secara langsung dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri sendiri tanpa ada perantara.
b. Umum Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan, kedaerahan, dan status sosial yang lain.
c. Bebas Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih pada pemilihan umum, bebas menentukan siapa yang akan dicoblos untuk membawa aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapapun.
d. Rahasia Rahasia, berarti dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin kerahasiaan pilihannya. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan.
e. Jujur Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan umum mendapat perlakuan sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Tujuan dan Fungsi Pemilihan Umum.
Adapun selanjutnya tujuan pemilu menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dalam pelaksanaannya memiliki tujuan seperti berikut:
1) memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;
2) mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas;
3) menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu;
4) memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu; dan
5) mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.
Pilkades Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah, kemudian muncul Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 secara isi dan secara langsung memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurusi wilayahnya sendiri atau bisa disebut dengan konsep otonomi daerah.
Dengan dibuatnya undang-undang tentang otonomi daerah maka ada perbedaan dalam hal kepengurusan dan dalam hal pengaturan urusan di wilayah daerah dengan cara mengatur rumah tangga sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak pemerintah.
Selanjutnya hal ini dijadikan sebagai landasan hukum untuk bisa mengatur dan menjalankan hak dan kewajiban pemerintahan terutama dalam urusan berpolitik seperti pemilihan kepala daerah baik itu ditingkat provinsi (gubernur), ditingkat kabupaten/kota (bupati/walikota), hingga ditingkat desa (kepala desa/lurah).
Terkhusus untuk wilayah desa sudah diatur dalam pasal 31 UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa dijelaskan:
a. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1,2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Aturan ini muncul dan memberikan motivasi lebih untuk menerapkan proses demokrasi di wilayah Indonesia dan juga digunakan sebagai sarana penyempurna aturan otonomi daerah.
Setelah itu lahir Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa dan ada pembaharuan kembali, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 65 Tahun 2017 pada pasal 4 sebagai berikut :
a. Pemilihan kepala Desa secara bergelombang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan:
1) Pengelompokan waktu berakhirnya masa jabatan kepala Desa di wilayah kabupaten /kota;
2) Kemampuan keuangan daerah; dan/atau
3) Ketersediaan pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah kabupaten/kota yang memenuhi persyaratan sebagai kepala Desa.
b. Pemilihan kepala Desa secara bergelombang sebagaimana maksud pada ayat (1) dilaksanakan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu 6 (enam) tahun.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai Interval waktu pemilihan kepala Desa secara bergelombang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati/Wali Kota. Kemudian setelah aturan yang mengatur tentang pemilihan kepala desa ini sudah jelas, maka sekarang pihak desa di berbagai daerah di Indonesia berlomba-lomba untuk menyelenggarakan pesta demokrasi tingkat desa ini supaya baik pelaksanaanya.
Bukan hanya sekedar memilih calon pemimpin mereka tetapi masyarakat desa sekarang juga sudah banyak yang melek atau peduli tentang keadaan politik yang ada di desa mereka masingmasing. Masyarakat harus ikut andil dalam memajukan desa mereka yang salah satunya melalui pemilihan kepala desa.
Strategi Politik Apabila seseorang atau suatu kelompok menginginkan suatu tujuan maka mutlak dibutuhkan strategi atau rencana. Tanpa perencanaan yang matang, maka suatu tujuan itu akan sulit tercapai.
Untuk itu perlu adanya sebuah strategi atau perencanaan yang baik demi mencapai tujuan yang diinginkan Menurut Clausewit dalam Schroder (2009:55) mengatakan bahwa makna dari strategi ialah ilmu tentang penggunaan pertempuran untuk mencapai suatu kemenangan dalam perang.
Menurut Arifin dalam Ardial (2010:73) menyatakan bahwa strategi politik merupakan semua keputusan yang disesuaikan pada keadaan saat ini tentang perilaku yang akan digunakan untuk mencapai tujuan politik dimasa yang akan datang.
Penyesuaian ini harus dilakukan agar strategi yang digunakan dapat tepat sasaran karena sebuah strategi politik bisa diibaratkan menjadi sebuah strategi perang. Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa strategi politik sama halnya dengan suatu peperangan.
Apabila di suatu pertempuran membutuhkan strategi yang tepat dan benar untuk memenangkan sebuah peperangan begitu juga dengan berpolitik.
Berpolitik juga sangat membutuhkan strategi dan perencanaan yang matang agar dapat memenangkan dan mencapai tujuan politik. Strategi politik yang dilakukan oleh calon kepala desa terhadap masyarakat sangat dibutuhkan untuk menghadapi pemilihan kepala desa.
Keberhasilan suatu strategi politik yang dilakukan akan berpengaruh terhadap hasil perolehan suara ketika pilkada berlangsung. Strategi pada hakikatnya merupakan sebuah perencanaan dan manajemen suatu tujuan. Akan tetapi untuk mencapai suatu tujuan, strategi yang tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah usaha, melainkan harus mampu juga menunjukkan operasionalnya (Effendi, 1993:300).
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas adapun beberapa tokoh yang menyebutkan bahwa strategi politik itu sangat bervariasi dan kebanyakan dilakukan melalui media seperti yang 13 dikemukakan oleh Rice dan Paisley dalam Dian Natalia Puteri dalam Wahyuni hal penting yang dapat mengendalikan strategi politik atau komunikasi politik seseorang adalah melalui pesan dan media, dimana keduanya harus mampu diterapkan dalam hal public relations politic.
a. Strategi Media Menurut Wahyuni dalam Wasesa (2011:137) mengatakan bahwa hal yang berkaitan dengan media dan menjadi tantangan bagi pencitraan politik ialah mengahadapi kecerdasan media ketika media membentuk atau menciptakan sebuah opini.
Yang dimaksud cerdas ialah biasanya media akan memberikan pertanyaan yang tidak terduga kepada tokoh politik dan tokoh politik harus mampu menjawab dengan argumen mereka.
b. Strategi Produksi Pesan Menurut Wahyuni dalam Wilbur Schramm menjelaskan syarat-syarat keberhasilan pesan agar dapat diterima oleh penerima pesan dengan baik ialah dengan perencanaan pesan dan penyampaian pesan, pesan harus memiliki tanda yang dapat dikenali oleh si komunikator dan khalayak, pesan diharuskan dapat membangkitkan apa yang dibutuhkan publik.
c. Publik Menurut Wahyuni dalam Ardial (2010) istilah publik dapat dipandang dari berbagai sisi, misalnya dari sisi pengetahuan public terhadap pesan yang telah diterima oleh khalayak, dapat menemukan publik yang tidak memiliki pengetahuan, tidak semua memiliki pengetahuan, dan ada yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan.
Dari sini juga dapat mengetahui sikap publik, ada yang menyetujui (setuju) ada yang tidak, ragu, bahkan sampai menolak.
4. Modalitas Politik Berbicara mengenai strategi politik atau cara-cara seorang politisi untuk memenangkan dirinya dalam Pemilu atau Pilkada, maka seorang politisi atau pelaku yang terlibat dalam proses tersebut haruslah memiliki modalitas yang baik.
Beberapa modal tersebut menurut Marijan (2010:184) adalah modal politik (political capital), modal sosial (sosial capital), dan modal ekonomi (economical capital). Ketiga modal tersebut dalam praktiknya biasanya memiliki peran sendiri-sendiri artinya tidak bisa dijadikan satu atau tanpa memiliki keterkaitan satu sama lain. Calon kepala daerah akan memiliki peluang yang besar untuk terpilih atau memenangkan suatu Pilkada apabila dapat memiliki lebih sari satu modal tersebut.
Pernyataan yang timbul adalah semakin banyak modal yang dimiliki maka semakin besar pula peluang untuk terpilih dalam Pilkada. Modal politik (political capital) adalah adanya dukungan politik dari masyarakat maupun dari kekuatan politik yang lain. Modal ini menjadi modal utama bagi orang yang bermaksud ingin mengikuti Pemilu/Pilkada sebagai calon maupun ketika nanti sudah terpilih. Modal kedua adalah modal sosial (social capital) yaitu berkaitan dengan hubungan (relasi) dan tingkat kepercayaan masyarakat yang dimiliki oleh calon dengan rakyat yang memilihnya.
Hal ini menjelaskan bahwa bagaimana seorang calon dapat meraih hati dan meyakinkan masyarakat agar dapat mendukung dan memilih dirinya bahkan meyakinkan masyarakat bahwa dirinya memiliki komeptensi yang bagus untuk menjadi pemimpin.
Namun kepercayaan ini tidak akan didapat semudah yang dibayangkan, perlu adanya proses agar kepercayaan ini bisa tumbuh di lingkungan masyarakat.
Dalam suatu Pemilu/Pilkada, modal sosial juga memiliki makna tidak kalah penting daripada modal politik.
Dengan adanya modal ini maka, calon yang maju akan dikenal oleh mayarakat pemilih. Pengenalan ini lebih dari sekedar secara fisik tetapi masyarakat pemilih juga dapat mengenal dan menilai apakah calon ini benar layak untuk dipilih atau tidak.
Apabila calon tersebut memiliki modal sosial maka calon tersebut tidak hanya dikenal akan tetapi masyarakat akan menaruh ekspektasi yang tinggi serta kepercayaan lebih. Modal yang ketiga ialah modal ekonomi (economical capital).
Dalam Pemilu/Pilkada mutlak dibutuhkan modal atau dana yang tidak sedikit. Modal ini tidak hanya dibutuhkan untuk pelaksanaan kampanye saja tetapi juga untuk proses membangun hubungan (relasi) dengan calon pendukungnya dan masyarakat. Termasuk modal untuk mobilisasi tim sukses dalam pelaksanaan kampanye dan persiapan menjelang pemilihan.
Bahkan modal ekonomi menjadi senjata yang sangat ampuh untuk mempengaruhi pemilih.
Banyak ditemui kasus di zaman sekarang bahwa ketika sedang diadakan Pemilu/Pilkada pasti ada calon yang membagikan uang atau barang kepada masyarakat pemilih.
Tujuannya ialah untuk mendapatkan simpati dan dukungan. Meskipun modal ekonomi dianggap sebagai cara yang kotor tetapi modal ini memiliki peran krusial sebagai penggerak utama mesin politik yang dipakai. Kampanye memang mutlak membutuhkan dana yang sangat banyak untuk mencetak poster, spanduk, iklan dan berbagai kebutuhan kampanye lainnya termasuk pengamanan. Modal ekonomi digunakan untuk pelumas calon untuk memenangkan diri dalam suatu Pemilu/Pilkada. Pemilu/Pilkada dalam realitanya akhirnya memunculkan berbagai sisi yang saling berlawanan.
Di Satu sisi ini ada sisi baik dan positif namun di satu sisi pula muncul cara-cara kotor yang mengotori jalannya Pemilu/Pilkada ini. Artinya pelaksanaan proses Pemilu/Pilkada disebut positif karena berkaitan dengan pelaksanaan proses demokrasi di Indonesia dan disebut negatif karena cara yang digunakan oleh calon untuk mendapat dukungan dan memenangkan diri dianggap kotor.
Para calon harus memiliki ketiga modal tadi secara seimbang. Karena Pemilu/Pilkada membutuhkan modal yang besar. Bukan hanya modal ekonomi saja tetapi juga modal politik dan modal sosial. Konsekuensinya calon tidak boleh bergantung kepada salah satu modal saja karena kekuasan yang dibangun nantinya bukan untuk rakyat saja tetapi juga untuk kepentingan umum.
Elit Politik Disamping mengutamakan strategi, dalam dunia politik peran seorang elit politik (pemimpin) dalam memenangkan peperangan juga sangat vital. Apabila elit politik dapat merencanakan dan menerapkan strategi politiknya dengan tepat maka tujuan politik kemungkinan besar akan tercapai. Menurut Mosca dalam Harun dan Sumarno (2006:21) mengatakan bahwa elit politik dibagi menjadi 2 model yakni elit berkuasa dan elit masyarakat. Elit berkuasa yaitu elit (pemimpin) yang mempunyai kuasa dan kewenangan untuk mampu menjalankan suatu kontrol politik.
Dalam proses politik, elit berkuasa adalah orang yang menguasai, menyetir dan mengendalikan alur komunikasi politik. Sedangkan elit masyarakat yaitu elit yang berpengaruh besar dalam lingkungan masyarakat dalam memberikan dukungan maupun penolakan terhadap kebijkan politik yang diterapkan oleh pemimpinnya. Dalam teori yang dikemukakan oleh Mosca tentang elit politik diperkuat oleh Gasset (1833-1955) dalam bukunya “Obras Competas”.
Ia mengemukakan bahwa bangsa yang besar tergantung kepada kemampuan elit politik yang memangku kebijakan serta rakyat, masyarakat, dan massa untuk dapat memilih dan menentukan pemimpinnya. Seperti yang dikemukakan oleh Pareto dalam Ardial (2010:73) mengemukakan bahwa pengertian elit politik ialah seseorang yang dinilai mempunyai nilai-nilai di masyarakat seperti, harta dan kekuasaan.
Karena mempunyai kepemimpinan politik sangat berbeda dengan mempunyai kekuasaan politik dikarenakan oleh 2 hal yakni jenis sumber yang mempengaruhi dan tujuan penggunaan pengaruh. Berdasarkan beberapa teori tersebut dapat disimpulkan bahwa elit politik adalah orang yang dipilih oleh rakyat serta masyarakat umum yang dimaksudkan untuk dapat mewakili aspirasi dan dapat menentukan arah politik suatu kelompok.
Dimana elit politik tersebut dapat menguasai dan mempengaruhi kondisi masyarakat yang ada. Sedangkan masyarakat disini dituntut untuk jeli dan tidak sembarang dalam memilih pemimpinnya.
Fajar Gunawan
Novel M Sinaga